Puasa dan Pengendalian Diri

Kamis, 09 Juli 2015 - 14:30 WIB
Puasa dan Pengendalian Diri
Puasa dan Pengendalian Diri
A A A
Islam sebagai agama penutup adalah agama paling ideal yang dilengkapi perangkat syari'at dengan 5 prinsip tujuan yang dikenal dengan maqoshid syari'ah (tujuan syari'at).

Yaitu : 1- hifzud din (menjaga agama), 2- hifzun nafs (menjaga jiwa), 3- hifzul aql (menjaga akal), 4- hifzun nasl (menjaga keturunan), dan 5- hifzul mal (menjaga harta).

5 prinsip pokok inilah yang membedakan syari'at Islam dengan syari'at agama-agama lainnya dengan 5 prinsip pokok ini harus diyakini bahwa setiap perintah agama pasti di dalamnya mengandung value (nilai), hikmah, atau tujuan.

Syari'at Islam adalah syari'at yang tidak sulit dikerjakan (عدم الحرج), tujuannya adalah untuk kemaslahatan manusia.

Oleh karenanya jika kita perhatikan, sesungguhnya perintah (hukum) Allah SWT selalu diiringi dengan penyebutan hikmah dalam Alqur'an, ketika Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk melaksanakan sholat

أتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلاةَ

(Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Alquran) dan dirikanlah salat…), maka Allah SWT juga menyebutkan hikmah dari ibadah salat tersebut

إنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ

(Sesungguhnya salat mencegah perbuatan keji dan munkar). Ibadah zakat juga demikian, ketika aspek hukumnya disebut, خذ من أموالهم صدقة تطهرهم (Ambillah zakat dari sebagian harta mereka…), aspek hikmahnya juga demikian تطهرهم وتزكيهم بها (dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka…).

Ibadah haji juga demikian, ketika Allah SWT berfirman terkait perintah untuk menunaikan ibadah haji

وأذن في الناس بالحج يأتوك رجالا وعلى كل ضامر يأتيك من كل فج عميق...

(Dan serulah manusia untuk berhaji, mereka datang dengan berjalan kaki, dan sebagian lagi menunggang unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh…)

Allah SWT juga menyebutkan hikmahnya ليشهدوا منافع لهم... (supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka…).

Puasa adalah ibadah yang sudah diwajibkan atas umat-umat sebelumnya dengan beberapa perbedaan baik dari sisi tata cara maupun waktunya.

Sebagai contoh, dalam satu riwayat disebutkan bahwa ada umat terdahulu yang puasanya hanya tidak makan makanan yang bernyawa, Nabi Musa AS dalam sebuah riwayat berpuasa 40 hari 40 malam tidak makan roti dan minum air.

Dalam Islam, seperti kita ketahui bahwa ibadah puasa baik puasa Ramadan maupun puasa-puasa lainnya yang wajib maupun sunnah dari sisi fikih memiliki pengertian “menahan dari hal-hal yang membatalkan puasa baik makan, minum maupun berhubungan suami istri dari terbitnya fajar sampai dengan terbenanmnya matahari”

Ibadah puasa seperti halnya ibadah – ibadah pokok di atas, didalamnya pasti mengandung hikmah baik hikmah yang tersebut di dalam Alqur'an maupun hikmah-hikmah lain yang bisa digali baik dari aspek kesehatan, sosial maupun hikmah-hikmah lainnya.

Allah SWT telah menyebutkan hikmah tersebut dalam Ayat 183 Surat Al Baqaroh :

ياأيها الذين آمنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون...

“Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada umat-umat sebelum kalian agar kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa…”.

Hikmah yang termaktub dalam ayat tersebut sangat jelas “agar kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa…”. Salah satu ciri orang yang bertaqwa seperti tersebut dalam Surat Al Imron Ayat 134 adalah orang yang الكاظمين الغيظ والعافين عن الناس (orang yang menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain).

Jika dikaitkan dengan pengertian puasa dari segi bahasa yang berarti imsak (menahan) dan pengertian puasa dari sisi fikih seperti yang dijelaskan di atas, maka ciri orang yang bertaqwa menjadi linier dengan pengertian tersebut. Hal ini diperkuat dengan hadist Rasulullah SAW :

يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فإنه أغض للبصر وأحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء

Hadist di atas menjelaskan bahwa bagi orang yang sudah memiliki bekal untuk menikah sebaiknya segera menikah, bagi yang belum hendaklah ia berpuasa karena puasa memiliki fungsi pengendali bagi syahwat.

Dengan demikian, ibadah puasa terkait erat dengan persoalan menahan dan mengendalikan, baik menahan diri dari yang membatalkan puasa secara fikih (makan, minum dan berhubungan suami istri) maupun mengendalikan diri dari sikap dan perilaku yang bertentangan dengan spirit ibadah puasa seperti berkata-kata kotor, mengumpat, berbohong, berprilaku tidak baik dsb.

Meskipun hal-hal tersebut tidak membatalkan ibadah puasa secara fikih akan tetapi dapat menghilangkan nilai dari ibadah puasa tersebut karena puasa sejatinya bukan sekadar menahan diri dari makan dan minum akan tetapi juga menahan diri dari berkata dan berprilaku kotor serta dari sikap saling bermusuhan.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
من لم يدع قول الزور والعمل به والجهل فليس لله حاجة أن يدع طعامه وشربه (رواه البخاري.

“Barang siapa yang tidak meninggalkan kata-kata kotor dan perbuatan keji, maka usahanya meninggalkan makan dan minum tidak berarti bagi Allah”.

Dengan spirit imsak ini para pemimpin hendaknya bisa menahan diri untuk mengeluarkan pernyataan yang dapat meresahkan umat meskipun tujuannya untuk menghormati kelompok minoritas tapi pikirkan juga hak-hak mayoritas.

Nilai keikhlasan ibadah puasa juga sejatinya menjadi spirit bagi kita, pemimpin dan rakyat negeri ini untuk menahan diri dari ambisi pribadi atau golongan dengan mengorbankan kepentingan orang banyak.

Untuk para pemimpin, kini saatnya untuk merealisasikan janji-janji manis yang pernah diucapkan waktu kampanye apalagi sekarang sudah ada fatwa mengenai hal terbut. Hentikan perilaku pencitraan bekerjalah dengan sepenuh hati, ikhlas dan yakinlah bahwa Allah SWT tidak akan menutup mata dari amal perbuatan hambanya meskipun kebaikan yang dilakukan tidak diliput oleh pers.

Nasrullah Jasam
Kepala Daker Haji Madinah 2014
(lis)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4891 seconds (0.1#10.140)